logo-bilitano-morowali
Search
Close this search box.

Idealisme

*Fatur Rahman

(Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Hasanuddin)

Malam sering terasa lebih panjang ketika kepala penuh pertanyaan. Tentang apa yang salah dengan dunia ini, atau mungkin tentang apa yang salah dengan manusia yang kini terlalu pandai berdamai dengan kesalahan. Di mulai dari sudut-sudut kampus, di ruang-ruang diskusi, atau bahkan di forum yang katanya (intelektual), orang masih berbicara tentang perubahan. Tapi entah kenapa, suaranya tak lagi punya daya guncang. Semua rasanya terasa rapi, tertib, dan hambar. Seolah kebenaran kini harus disesuaikan dengan suasana ruangan.

Dulu kata “idealisme” terdengar seperti sebuah dentuman. Ia lahir dari keresahan, dari keyakinan bahwa dunia bisa diperbaiki kalau ada yang berani menentangnya. Sekarang, kata itu lebih sering dijadikan bahan lelucon, semacam nostalgia dari masa muda yang dianggap terlalu penuh harapan. Mungkin karena terlalu banyak orang yang pernah jadi idealis, lalu memilih berhenti.

Dari semangat ke kepura-puraan

Hidup di zaman ini punya cara halus untuk membungkam. Tidak dengan kekerasan, tapi dengan kenyamanan. Orang-orang yang dulu menulis pamflet dan meneriakkan perlawanan kini sibuk mengatur bahasa agar terdengar “aman.” Diskusi yang dulu liar kini berubah jadi basa-basi akademik yang penuh sopan santun. Yang berani mengkritik malah dianggap tidak tahu etika. Dan dari situlah kepura-puraan tumbuh pelan tapi pasti, sampai akhirnya orang lupa bagaimana rasanya jujur.

Idealis tidak bisa dimakan

Kalimat itu terdengar di mana-mana. Di seminar, di tongkrongan, di balik tawa yang getir. Katanya “Idealis tidak bisa dimakan untuk esok hari.” Sebuah kalimat yang diucapkan seolah bijak, padahal sebenarnya menyerah. Mereka yang mengatakannya sering kali pernah idealis juga, sebelum realitas menggulung dan membuat mereka lupa bahwa perubahan tidak lahir dari perut kenyang. Mungkin benar, idealisme tak bisa mengisi perut, tapi justru karena itu ia bernilai, karena tak bisa dibeli.

Ruang intelektual yang mulai tua

Kini, yang tersisa dari ruang-ruang intelektual hanyalah gema. Orang bicara soal rakyat, tapi dengan nada yang datar. Berbicara soal keadilan, tapi sambil melirik jam tangan. Ironisnya, ruang yang seharusnya menjadi cikal bakal kebenaran tumbuh malah jadi tempat merawat kepatuhan. Idealisme yang dulu hidup di kepala mahasiswa, kini dipelihara sebagai kenangan, bukan sebagai sikap.

Mungkin, di tengah sunyi yang mengeras ini, masih ada beberapa orang yang diam-diam menolak tunduk. Mereka yang tahu bahwa dunia tidak berubah oleh kata-kata manis, melainkan keberanian untuk tidak ikut busuk bersama arus. Karena meski benar, idealis memang tidak bisa dimakan untuk esok hari, tetapi setidaknya mereka masih punya sesuatu yang lebih langka dari kenyang: HARGA DIRI.

share it
Facebook
X
WhatsApp
Email

Berita Terkait