Surat dari Pembaca
*Mohamad Rifal Ayuba
Forum Mahasiswa Peduli Sulawesi Tengah (FMPST) menyoroti lemahnya pengawasan dan ketegasan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dalam menangani persoalan pertambangan, baik yang berizin maupun tanpa izin (PETI), yang kini kian meluas di berbagai kabupaten dan kota di Sulteng.
Berdasarkan data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulawesi Tengah, tercatat sedikitnya 13 titik pertambangan tanpa izin (PETI) yang masih aktif beroperasi di wilayah provinsi ini. Titik terbanyak berada di Kabupaten Parigi Moutong, disusul Kabupaten Poso, Banggai, Buol, hingga Kota Palu.
Ironisnya, sebagian besar aktivitas tambang tersebut berada di kawasan hutan lindung dan area kontrak karya perusahaan besar, seperti di Kelurahan Poboya, Kota Palu, yang sudah lama menjadi sorotan publik karena aktivitas tambang rakyat di wilayah kerja PT Citra Palu Minerals (CPM).
FMPST menilai bahwa kondisi ini mencerminkan krisis tata kelola dan lemahnya sistem pengawasan di tingkat pemerintah provinsi. Penegakan hukum dan upaya perlindungan lingkungan hidup tampak berjalan setengah hati.
Munculnya tambang-tambang ilegal di berbagai daerah menandakan bahwa koordinasi antara pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan instansi terkait belum berjalan efektif.
Upaya penertiban yang dilakukan sejauh ini lebih bersifat seremonial dan temporer, tanpa diikuti langkah sistemik seperti:
1. Penetapan wilayah pertambangan rakyat (WPR) yang jelas,
2. Pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar tambang, dan
3. Penegakan hukum terhadap aktor-aktor yang diuntungkan dari aktivitas ilegal tersebut.
Dampaknya kini nyata: kerusakan lingkungan, pencemaran air, konflik sosial, dan eksploitasi masyarakat lokal menjadi luka ekologis yang semakin dalam. Di Parigi Moutong, misalnya, sebagian area tambang bahkan telah masuk ke kawasan hutan lindung Lindu, sebuah pelanggaran serius terhadap prinsip tata kelola lingkungan hidup yang berkelanjutan.
Sulawesi Tengah memang kaya sumber daya alam, namun kemiskinan, ketimpangan sosial, dan kerusakan lingkungan masih membayangi kehidupan masyarakatnya. Ini adalah paradoks yang harus diakhiri.
FMPST menegaskan bahwa kekayaan alam Sulteng harus dikelola untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk memperkaya segelintir elit dan korporasi.
Kami mendesak Gubernur Sulawesi Tengah agar tidak menutup mata terhadap krisis lingkungan dan tata kelola pertambangan yang semakin memprihatinkan. Sudah saatnya pemerintah berpihak pada bumi dan rakyat, bukan pada kepentingan ekonomi jangka pendek yang mengorbankan masa depan generasi Sulteng.





